Makna yang Terkandung dalam Kaligrafi
Salah satu gejala penting sepanjang sejarah persebaran kebudayaan Arab di seluruh permukaan bumi ialah pemunculan kaligrafi Arab yang sangat kuat dalam lingkungan kebudayaan. Hal ini dapat ditemukan pada berbagai wilayah, dengan berbagai versi, dan dengan aneka cara penerapan. Gejala kaligrafi tersebut bersamaan dengan unsur-unsur lain peradaban menghantarkan kebudayaan Arab menjadi suatu yang tidak asing bagi masyarakat setempat. Di Indonesia, gejala itu telah muncul sejak masa yang sangat awal dan selanjutnya terlihat pada hampir setiap objek, baik yang berkaitan langsung dengan keilmuan seperti perangkat tulis baca maupun pada benda dan bangunan yang menunjang peribadatan. Bahkan, kaligrafi telah dijadikan sebagai simbol diri seperti tanda tangan, dan subject matter yang menyertai berbagai ornamen yang terpahat pada batu nisan.
Eksistensi kaligrafi yang kuat itu, pada penghujung abad ke-20, diperluas pula dengan kehadirannya dalam khazanah kesenirupaan kontemporer sehingga menjadikan unsur kebudayaan Arab yang satu ini memperoleh jalan perkembangan dan masa depan yang baru. Kaligrafi Arab, dalam konteks kesenirupaan telah merebut apresian yang cukup luas sehingga dipelihara, terutama oleh masyarakat pengguna aksara bersangkutan, yang pada umumnya adalah kaum muslimin. Akan tetapi, agar tidak berhenti di tengah jalan, gejala positif ini perlu ditopang oleh dukungan yang melibatkan berbagai pihak secara komprehensif.
Islamic Caligraphy |
Makna dan Arti Penting Kaligrafi
Kaligrafi adalah istilah yang berasal dari kata kalio dan graphia dalam bahasa Yunani, yang secara umum diartikan sebagai tulisan yang indah. Dalam bahasa Inggris kaligrafi disebut sebagai calligraphy, sedangkan dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan sebutan khath. Dalam lingkungan kebudayaan, kaligrafi dapat disoroti melalui dua aspek, yaitu dari sisi kaligrafi sebagai suatu aksara yang menjadi simbol untuk penulisan huruf atau kata dan dari sisi keberadaannya sebagai hasil dan proses estetika.
Sebagai aksara untuk penulisan huruf, kaligrafi memiliki kaitan erat dengan alam pikiran dan sebagai hasil dan proses estetika, kaligrafi berkaitan erat dengan kondisi estetika yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kaitan ini dapat dijelaskan melalui pemahaman bahwa tulisan kaligrafi, sebagaimana tulisan pada umumnya, adalah suatu karya yang mampu menampung gagasan dari penulis atau pelukisnya. Dalam keadaan tersebut, kaligrafi berfungsi sebagai wahana untuk menyimpan, mengawetkan, serta mengungkapkan kembali gagasan dan pemikiran dari seseorang ataupun suatu komunitas tertentu.
Gagasan, pikiran, dan daya estetis yang mampu diungkapkan oleh kaligrafi itu mencakup aspek yang sangat luas dan hampir tak terbatas. Batasan daya tampungnya hanya ditentukan oleh keterbatasan yang terdapat pada pemikiran, gagasan, dan imajinasi itu. Dalam kondisi tersebut, kaligrafi memiliki kekuatan maksimal untuk tampil sebagai salah satu gejala kebudayaan yang representatif dan sangat membantu untuk menemukan bukan saja kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam suatu kebudayaan, tetapi juga menemukan pertautan antara lingkungan kebudayaan yang satu terhadap yang lainnya.
Kenyataannya, kaligrafi memiliki lahan perkembangan yang sangat subur dalam setiap kebudayaan yang mempunyai aksara khusus seperti dalam lingkungan masyarakat di India, Jepang, Cina, Jawa, Arab, dan lain-lain. Sebagaimana ditemukan dalam peninggalan-peninggalan sejarah, terlihat hampir setiap aksara telah menerima usaha pengembangannya dalam bentuk kaligrafis. Hal ini dapat ditemukan pada prasasti yang menuliskan perjanjian ataupun mengungkapkan statement tertentu yang berkenaan dengan suatu kekuasaan. Ada pula kaligrafi yang dituliskan pada bangunan-bangunan suci dan tempat pertemuan umum, dan tidak jarang pula tulisan yang berbentuk kaligrafi ditemukan dalam fungsinya yang amat sakral, yaitu sebagai bagian dari mantera seperti tulisan huruf Manu dari Tibet, tulisan Kanji dari Jepang, atau yang lain.
Sebagaimana halnya dengan kaligrafi aksara lainnya, kaligrafi yang menggunakan huruf Arab telah mengemban fungsi kebudayaan dan religiusitas yang sangat luas. Oleh karena fungsi religiusitasnya yang sangat luas itulah ia seakan-akan tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan kebudayaan Arab. Keberadaan agama Islam yang menggunakan aksara Arab sebagai standar pokok tulisannya mendorong pula perkembangan dan persebaran kaligrafi yang menggunakan aksara Arab atau kaligrafi Arab sampai jauh.
Tiap-tiap tempat, secara kreatif, melakukan pula pengolahan sesuai dengan lingkungan pribumi yang bersangkutan sehingga variasinya menjadi semakin lebih kaya seperti aksara Taus yang dikaitkan dengan fantasi sufi Persia tentang burung merak, atau di Jawa ungkapan ketauhidan pada Al-Quran surat Al-Ikhlash (112): 1-4 dilukis dalam bentuk tokoh wayang Semar yang khas.
Karena kaligrafi memiliki kaitan erat dengan suatu gagasan, sejak pengolahan kaligrafi Arab berada di tangan kaum muslimin, telah terjadi hubungan yang sangat erat antara aksara Arab dengan gagasan kaum muslimin. Hubungan ini lebih lanjut mengakibatkan seringkali terjadi pencampuran antara kaligrafi Arab dengan kaligrafi Islam. Annemarie Schimmel, peneliti tasawuf yang banyak mengkaji budaya Arab dan Persia klasik membuat batasan yang patut menjadi acuan. Menurutnya, apabila tulisan indah itu menampilkan ayat Al-Quran, Al-Hadits, ungkapan hikmah dan lain-lain yang merupakan ajaran Islam maka kaligrafi tersebut secara khusus dinamakan sebagai kaligrafi Islam.
Batasan ini membuka pada penjelasan lebih lanjut bahwa apabila kaligrafi tersebut tidak berkaitan dengan ajaran Islam, ia merupakan kaligrafi Arab biasa. Hal ini sejalan dengan definisi umum yang diberikan oleh Muhammad Sijelmessi dan Abdulkabir Khetibi bahwa kaligrafi Arab pada umumnya (termasuk kaligrafi Islami) ialah
“… an art which is conscious founded upon a code of geometric and decorative rules; an art which, in the patterns which it creates, implies a theory of language and of writing. This art starts off as part of the linguistic structure and institutes an alternative set of rules, derived from languages but dramatizing and duplicating it by transposing it in to visual tems.”
Batasan di atas sekaligus menggarisbawahi berbagai komponen kesenirupaan, kebahasaan, dan aktivitas mental yang terkait dalam pembuatan kaligrafi. Proses kreatif dengan memperketat pertimbangan linguistik serta memperhatikan aturan geometris dan dekoratif sebagaimana diungkapkan oleh Sijelmessi dan Khatibi di atas sangat tepat bila diterapkan dalam fungsinya sebagai unsur dekorasi dan media komunikasi. Akan tetapi, kaligrafi Arab mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan lebih luas dari sekedar unsur dekorasi dan media komunikasi karena, sebagaimana dikemukakan oleh pengamat senirupa, Dan Soewarjono, kaligrafi Arab sebagai karya seni rupa dapat mencapai harkatnya sebagai seni murni. Inilah potensi yang perlu diperhatikan lebih serius pada masa depan.
Sebagai aksara untuk penulisan huruf, kaligrafi memiliki kaitan erat dengan alam pikiran dan sebagai hasil dan proses estetika, kaligrafi berkaitan erat dengan kondisi estetika yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kaitan ini dapat dijelaskan melalui pemahaman bahwa tulisan kaligrafi, sebagaimana tulisan pada umumnya, adalah suatu karya yang mampu menampung gagasan dari penulis atau pelukisnya. Dalam keadaan tersebut, kaligrafi berfungsi sebagai wahana untuk menyimpan, mengawetkan, serta mengungkapkan kembali gagasan dan pemikiran dari seseorang ataupun suatu komunitas tertentu.
Gagasan, pikiran, dan daya estetis yang mampu diungkapkan oleh kaligrafi itu mencakup aspek yang sangat luas dan hampir tak terbatas. Batasan daya tampungnya hanya ditentukan oleh keterbatasan yang terdapat pada pemikiran, gagasan, dan imajinasi itu. Dalam kondisi tersebut, kaligrafi memiliki kekuatan maksimal untuk tampil sebagai salah satu gejala kebudayaan yang representatif dan sangat membantu untuk menemukan bukan saja kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam suatu kebudayaan, tetapi juga menemukan pertautan antara lingkungan kebudayaan yang satu terhadap yang lainnya.
Pesan dari Jepang: Jalan Tuhan sangat dekat, tetapi Manusia selalu Menjauh |
Sebagaimana halnya dengan kaligrafi aksara lainnya, kaligrafi yang menggunakan huruf Arab telah mengemban fungsi kebudayaan dan religiusitas yang sangat luas. Oleh karena fungsi religiusitasnya yang sangat luas itulah ia seakan-akan tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan kebudayaan Arab. Keberadaan agama Islam yang menggunakan aksara Arab sebagai standar pokok tulisannya mendorong pula perkembangan dan persebaran kaligrafi yang menggunakan aksara Arab atau kaligrafi Arab sampai jauh.
Tiap-tiap tempat, secara kreatif, melakukan pula pengolahan sesuai dengan lingkungan pribumi yang bersangkutan sehingga variasinya menjadi semakin lebih kaya seperti aksara Taus yang dikaitkan dengan fantasi sufi Persia tentang burung merak, atau di Jawa ungkapan ketauhidan pada Al-Quran surat Al-Ikhlash (112): 1-4 dilukis dalam bentuk tokoh wayang Semar yang khas.
Wayang Semar: Al-Quran Surat Al-Ikhlash |
Batasan ini membuka pada penjelasan lebih lanjut bahwa apabila kaligrafi tersebut tidak berkaitan dengan ajaran Islam, ia merupakan kaligrafi Arab biasa. Hal ini sejalan dengan definisi umum yang diberikan oleh Muhammad Sijelmessi dan Abdulkabir Khetibi bahwa kaligrafi Arab pada umumnya (termasuk kaligrafi Islami) ialah
“… an art which is conscious founded upon a code of geometric and decorative rules; an art which, in the patterns which it creates, implies a theory of language and of writing. This art starts off as part of the linguistic structure and institutes an alternative set of rules, derived from languages but dramatizing and duplicating it by transposing it in to visual tems.”
Batasan di atas sekaligus menggarisbawahi berbagai komponen kesenirupaan, kebahasaan, dan aktivitas mental yang terkait dalam pembuatan kaligrafi. Proses kreatif dengan memperketat pertimbangan linguistik serta memperhatikan aturan geometris dan dekoratif sebagaimana diungkapkan oleh Sijelmessi dan Khatibi di atas sangat tepat bila diterapkan dalam fungsinya sebagai unsur dekorasi dan media komunikasi. Akan tetapi, kaligrafi Arab mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan lebih luas dari sekedar unsur dekorasi dan media komunikasi karena, sebagaimana dikemukakan oleh pengamat senirupa, Dan Soewarjono, kaligrafi Arab sebagai karya seni rupa dapat mencapai harkatnya sebagai seni murni. Inilah potensi yang perlu diperhatikan lebih serius pada masa depan.